Budaya atau kebudayaan seringkali diperbincangkan dalam
pengertian yang beragam dalam lingkup pengetahuan, prilaku dan benda-benda
(artefak). Ada ahli yang mengartikan kebudayaan hanya sebagai
pengetahuan, namun ahli lainnya mengartikan dari gabungan dua diantaranya atau
ketiganya sekaligus. Sementara,
pemerintah dan masyarakat secara umum lebih mengartikan kebudayaan sebagai
rangkaian upacara, kesenian tradisional.
Dalam konteks kebijakan, kebudayaan juga sering disebut seperti kebudayaan
nasional ,kebudayaan daerah dengan pengertian yang kaku dalam bentuk objek yang
perlu dilestarikan sehingga selalu berada di posisi yang tersubordinasi oleh
faktor lainnya seperti ekonomi, politik
dan globalisasi.
Sehingga akan sangat menarik, memperoleh cara pandang yang
tidak hanya berbeda tetapi mendekonstruksi cara pemikiran dominan yang
berkembang selama ini. Cara pandang itu
adalah menempatkan budaya sebagai peran utama yang membentuk kemajuan suatu
masyarakat yang disebut sebagai kebangkitan peran budaya. Samuel P. Huntington, salah seorang ilmuwan
terkemuka dunia, diantaranya yang
memberikan penghormatan yang tinggi terhadap peran budaya, ketika membandingkan
Ghana dan Korea Selatan, yang dilanjutkan dengan pertanyaan ,”Bagaimana
menjelaskan perbedaan yang luar biasa dalam perkembangan ini? Lalu dijawabnya
sendiri,”Tidak diragukan lagi banyak faktor yang berperan, tetapi menurut hemat
saya, budaya memainkan peran besar. Orang Korea Selatan menghargai hidup hemat,
investasi, kerja keras, pendidikan, organisasi, dan disiplin. Orang Ghana
mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Pendeknya, budaya mempunyai andil”.
Huntington mengkisahkan, “Di awal tahun 1990-an, secara kebetulan
saya menjumpai data ekonomi Ghana dan Korea Selatan tahun 1960-an awal. Saya takjub melihat betapa miripnya ekonomi
dua negara ini pada waktu itu. Dua negara ini, kira-kira, memiliki tingkat
Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita yang setara; porsi ekonomi mereka yang
serupa antara produk, manufakturing, dan jasa primer; serta berlimpahnya ekspor
produk primer, dengan Korea Selatan memproduksi sejumlah kecil barang
manufaktur. Mereka juga menerima bantuan ekonomi dalam jumlah yang seimbang.
Tiga puluh tahun kemudian, Korea Selatan menjadi raksasa industri ekonomi
terbesar nomor ke-14 dunia, perusahaan-perusahaan multinasional, ekspor mobil,
alat elektronik, dan barang canggih hasil pabrik lainnya dalam jumlah besar,
serta pendapatan perkapita yang mendekati Yunani (saat ini sudah jauh melampaui
Yunani, red.). Tidak ada perubahan seperti ini di Ghana, yang PDB per kapitanya
sekarang sekitar seperlimabelas dari Korea Selatan”.(p.xiii).
Kisah tersebut, dituliskannya di pengantar buku yang
berjudul,”Kebangkitan Peran Budaya. Bagaimana Nilai-Nilai Membentuk Kemajuan
Manusia” dimana beliau dan Lawrence E. Harisson yang menjadi editornya dari
puluhan tulisan ilmuwan sosial ternama
di dunia dari antropologi, sosiologi, politik dan ekonomi . Bahan-bahan yang dijadikan
muatan dalam buku ini merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh Harvard
Academy for International and Area Studies yang mengkaji hubungan antara budaya
dan perkembangan politik, ekonomi dan sosial yang selanjutnya dilakukan
simposium,”Cultural Values and Human Progress yang dilaksanakan di American
Academy of Arts and Sciences di Cambridge, Massachussets, tanggal 23 – 25 April
1999. Kemudian diterbitkan setahun berikutnya dengan judul : Culture Matters :
How Values Shape Human Progress yang diterbitkan oleh Basic Books, New York.
Beberapa tahun kemudian terjemahannya di
terbitkan pertama kali oleh LP3ES Indonesia, September 2006.
Dalam buku ini, budaya dilihat dalam konteks dua hal utama.
Pertama sebagai faktor determinan atau faktor penjelas yang memberikan pengaruh
atau perannya terhadap faktor-faktor lainnya seperti ekonomi, politik, gender,
korupsi hinga hubungan mayoritas dan minoritas di Amerika. Kedua, budaya
dilihat sebagai faktor yang tidak berdiri sendiri. Misalnya bagaimana tindakan politik
atau yang lain mengubah atau menghilangkan hambatan budaya untuk maju?
Sehingga dalam sudut pandang seperti yang disebutkan di
atas, budaya diartikan tidak dalam defenisi yang sangat luas, seperti yang
banyak dikenal di dalam defenisi kebudayaan yang dibuat para ahli antropologi,
namun lebih spesifik dan ruang lingkup yang yang tegas. Hal ini terkait dengan
pertanyaan besar yang diajukan yakni sejauh mana faktor-faktor budaya membentuk
perkembangan ekonomi dan politik? Jika budaya memang memiliki andil, bagaimana
hambatan budaya terhadap perkembangan ekonomi dan politik dapat dihilangkan
atau diubah untuk memfasilitasi kemajuan?
Dalam kebutuhan untuk menjawab pertanyaan itu, maka kemajuan
manusia diartikan sebagai gerakan menuju perkembangan ekonomi dan
kesejahteraan, keadilan sosial-ekonomi, dan demokrasi politik. Terkait dengan
budaya, Huntington memberikan defenisi budaya dengan lingkup yang lebih khusus
seperti nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi dan paraduga.
“Istilah “budaya” tentu saja, mempunyai banyak arti dalam
disiplin ilmu yang berbeda dan konteks yang berbeda pula. Istilah ini sering
digunakan untuk menyebut produk intelektual, musik, artistik, dan sastra dari
sebuah masyarakat, atau yang disebut “budaya tinggi”. Para Antropolog, mungkin
yang paling menonjol adalah Cliffort Geertz, telah menekankan budaya sebagai
“deskripsi tebal” dan menggunakannya untuk menyebut seluruh cara hidup dari
sebuah masyarakat : nilai, praktik, simbol, lembaga, dan hubungan antar
manusianya. Namun, di dalam buku ini, kami tertarik pada bagaimana budaya
mempengaruhi perkembangan suatau masyarakat; jika budaya meliputi apa saja,
budaya tidak menjelaskan apa pun. Maka, kami mendefenisikan budaya dalam
istilah yang benar-benar subjektif seperti nilai-nilai, sikap, kepercayan,
orientasi, dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu
masyarakat. Buku ini mengkaji sejauh mana budaya dalam pengertian yang
subjektif ini bisa mempengaruhi cara-cara masyarakat untuk berhasil atau gagal
dalam mencapai kemajuan perkembangan ekonomi dan demokrasi politik”. (p.xvi).
Buku ini terdiri tujuh bagian. Bagian I membahas tentang
keterkaitan budaya dan pembangunan ekonomi dengan memberikan fakta budaya
sebagai faktor penentu dalam pembangunan ekonomi dan kemakmuran. Bagian II membahas tentang
perkembangan budaya dan politik, seperti memberikan gambaran tentang hubungan
budaya dengan demokrasi, korupsi dan pasar. Bagian III tentang Debat
Antropologis, diantaranya membahas kepercayaan dan praktik tradisional – apakah
sebagian lebih baik daripada yang lainnya? Bagian IV membahas budaya dan gender
dilihat dari perspektif hak asasi manusia dan kesetaraan gender. Bagian V
menjelaskan kasus kaum minoritas Amerika untuk menunjukkan bagaimana budaya
berperan. Dua bagian terakhir terkait dengan krisis asia dan mempromosikan
perubahan. Di bagian terakhir ini, diantaranya memberikan arahan untuk
melakukan upaya mengubah pemikiran sebuah bangsa untuk memajukan perubahan
budaya yang progessif. Dalam konteks ini, harus ada upaya yang kuat untuk
mempengaruhi kebijakan untuk memberikan peran besar terhadap budaya dalam
setiap pengambilan kebijakan. Secara
khusus Lawrence E. Harrison mengutip pertanyaan menarik dari Robert Klitgaard
terkait dengan kebijakan untuk dijadikan refleksi, ”Jika budaya itu penting dan
orang-orang telah mempelajari budaya selama seabad atau lebih, mengapa kita
tidak mempunyai teori-teori yang dikembangkan dengan benar, petunjuk-petunjuk
yang praktis, hubungan profesional yang dekat antara orang yang belajar budaya
dan yang membuat serta mengatur perkembangan kebijakan?”.
Dalam buku ini,juga sudah diberikan gambaran kajian budaya
yang selayaknya dilakukan agar
mampu memberikan manfaat paraktis
(terapan) dalam pembangunan, yakni :
Sebuah tiplogi nilai/sikap: Tujuannya adalah (1) untuk
mengenali nilai-nilai dan sikap yang meningkatkan kemajuan, termasuk penilaian
prioritas yang melekat pada masing-masing, dan nilai dan sikap yang menghalangi
kemajuan; dan (2) untuk menentukan nilai-nilai/sikap positif dan negatif mana
yang mempengaruhi evolusi lembaga-lembaga politik yang demokratis, pembangunan
ekonomi, dan keadilan sosial; dan membuat peringkat nilai dan sikap tersebut.
Hubungan antara budaya dan pembangunan: Tujuannya adalah (1)
mengembangkan pemahaman yang berguna dan operasional akan kekuatan/pelaku yang
dapat mempercepat pembangunan ketika berhadapan dengan nilai-nilai dan sikap
yang tidak mendukung pembangunan; (2) Melacak dampak terhadap nilai-nilai dan
sikap tradisional ketika pembangunan terjadi sebagai konsekuensi dari
kekuatan/pelaku ini; (3) membahas persoalan apakah lembaga-lembaga demokrasi
dapat dikukuhkan dan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial terjaga sekiranya
nilai-nilai dan sikap tradisional tidak berubah secara signifikan.
Hubungan antara nilai-nilai dan sikap, kebijakan, dan
lembaga: Tujuananya adalah (1) menilai sejauh mana sebuah kebijakan dan lembaga
mencerminkan nilai-nilai dan sikap, (2) Mengerti lebih baik apa yang mungkin
terjadi ketika nilai-nilai dan sikap tidak cocok dengan kebijakan lembaga, dan
(3) menetapkan sejauh mana kebijakan dan lembaga dapat mengubah nilai-nilai dan
sikap.
Penyebaran budaya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
pemahaman mengenai faktor-faktor utama dalam penyebaran nilai/sikap, misalnya,
praktik pengasuhan anak, sekolah, gereja, media, kawan sebaya, tempat kerja dan
“pengiriman uang sosial” dari para migran ke negara-negara asal. Kita perlu
tahu (1) yang mana dari faktor-faktor itu yang sedang paling kuat secara umum
sebagaimana halnya yang paling kuat di
wilayah geografi dan budaya yang berbeda di dunia; (2) bagaimana setiap faktor
dapat menyumbang untuk perubahan nilai dan sikap yang progressif; dan (3) peran
apa yang mungkin pemerintah mainkan dalam ihwal perubahan nilai dan sikap.
Pengukuran nilai/sikap: Tujuannya adalah memperluas
jangkauan sistem internasional untuk mengukur perubahan nilai dan sikap.
Menilai inisiatif-inisiatif perubahan budaya yang sudah
berjalan.
Enam point di atas sebenarnya merupakan agenda Harvard
Academy for International and Area Studies sekitar sepuluh tahun yang lalu, namun menurut hemat
saya masih relevan untuk kondisi Indonesia saat ini. Dengan orientasi yang kuat
di bidang terapan, saya kira Antropologi dan Antropolog akan memiliki modal
yang lebih dari cukup untuk mampu mempengaruhi kebijakan dan menjadi mitra
strategis bagi pengambil kebijakan di negeri ini. Sehingga pertanyaan kritis
dari Robert Klitgaard di atas bisa dijawab dengan baik.
No comments:
Post a Comment